Senjata merupakan alat kepanjangan
tangan manusia dalam pembelaan diri, dalam setiap perkembangannya sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan dan lingkungan alam. Oleh karenanya sering
ditemukan kesamaan model senjata antara satu daerah dengan daerah lain yang
letak geografisnya berdekatan. Tidak sedikit dari senjata-senjata itu berakar
dari alat pertanian dan perkakas sehari-hari.
Bagi masyarakat Betawi yang menurut
arkeologi Uka Tjandrasasmita sebagai penduduk natif Sunda Kelapa (Monografi
Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran
(1977), memiliki senjata tradisional yang belum terpengaruh kebudayaan asing
sejak zaman Neolithikum atau zaman Batu Baru (3000-3500 tahun yang lalu). Hal
ini dapat ditemukan pada bukti arkeologis di daerah Jakarta dan sekitarnya
dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali
Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami.
Beberapa tempat yang diyakini itu
berpenghuni masyarakat Betawi itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing,
Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara,
Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung
Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat,
Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah
Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di
situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus
dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah
mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga
mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
Senjata Tradisional Betawi Genre
Awal
Rotan
Rotan (https://jakartapedia.net)
Rotan adalah jenis senjata
tradisional Betawi yang digunakan pada permainan Seni Ketangasan Ujungan,
termasuk kategori senjata alat pemukul. Disinyalir dari Seni Ujungan inilah
awal beladiri berkembang. Pada masa awal terbentuknya Seni Ketangkasan Ujungan,
rotan yang digunakan mencapai panjang 70-100cm. Pada ujung rotan disisipkan
benda-benda tajam seperti paku atau pecahan logam, yang difungsikan untuk
melukai lawan.
Pada perkembangannya rotan yang digunakan
hanya berkisar 70-80cm, selanjutnya paku dan pecahan logam di ujung rotanpun
tidak lagi digunakan untuk pertandingan yang sifatnya hiburan, rotan jenis ini
dipakai hanya ketika berperang menghadapi musuh sesungguhnya. Tubuh lawan yang
menjadi sasaranpun dibatasi hanya sebatas pinggang ke bawah, utamanya tulang
kering dan mata kaki.
Piso Punta
Piso
Punta (https://www.jakarta.go.id)
Piso Punta adalah senjata tajam
jenis tusuk, dengan panjang sekitar 15-20cm. Senjata ini lebih berfungsi
sebagai senjata pusaka yang menjadi simbol strata sosial pada waktu itu, karena
senjata tajam ini tidak pernah digunakan untuk bertarung. Di Jawa Barat mungkin
dikenal sebagai Kujang, namun Kujang lebih variatif dari segi bentuk dan motif
ciung.
Senjata pusaka yang dianggap paling
“berisi”. Pisau ini hanya dimiliki oleh kaum elit dan merupakan senjata pusaka
Betawi yang paling mulia.
Pisau Raut
Pisau
Raut (https://www.jakarta.go.id)
Senjata tradisional masyarakat
Betawi yang bentuknya hampir mirip badik. Merupakan pisau sang Hulun atau
rakyat biasa. Pisau ini disebut juga badi-badi. Di samping itu pisau raut
merupakan salah satu ciri khas pada Pengantin Dandanan Rias Bakal Pria Adat
Betawi. Senjata ini disematkan pada bagian tengah baju dan ditahan dengan ikat
pinggang. Letaknya cenderung ke sebelah kanan dengan dihiasi bunga melati yang
dironce indah.
Beliung Gigi Gledek
Beliung adalah sejenis kapak dengan
mata menyilang kearah gagang pegangan, umumnya digunakan sebagai perkakas untuk
membuat kayu. Beliung Gigi Gledek merupakan jenis kapak dengan mata kapak
terbuat dari batu, merupakan teknik pembuatan senjata sisa peninggalan zaman
batu baru di Betawi yang masih tersisa antara abad 1-3M. Beberapa tokoh yang
diketahui pernah menggunakan ini sebagai senjata andalannya adalah Batara
Katong (Wak Item) dan Salihun pemimpin kelompok Si Pitung. Beliung digunakan
Salihun sebagai sarana dalam melakukan aksi perampokan maupun pelarian dengan
memanjat pagar tembok.
Cunrik (Keris Kecil Tusuk Konde)
Cunrik (https://www.jakarta.go.id)
Cunrik merupakan senjata tradisional
para perempuan Betawi, biasa digunakan oleh para resi perempuan yang tidak
ingin menonjolkan kekerasan dalam pembelaan dirinya, terbuat dari besi kuningan
dengan panjang kurang dari 10cm. Salah seorang resi perempuan yang terkenal
menggunakan cunrik ini adalah Buyut Nyai Dawit, pengarang Kitab Sanghyang
Shikshakanda Ng Karesiyan (1518). Dimakamkan di Pager Resi Cibinong.
Senjata Tradisional Betawi yang
dipakai dalam Maenpukulan
Kerakel (Kerak Keling) / Blangkas
Kerakel (Kerak Keling) merupakan
jenis senjata pemukul, merupakan perkembangan dari senjata rotan Ujungan. Orang
Betawi Rawa Belong lebih mengenalnya dengan sebutan Blangkas.
Batang pemukul pipih memiliki panjang
lebih pendek dari rotan (40-60cm), terbuat dari hasil sisa pembakaran baja
hitam (kerak keling) yang dicor. Ujung gagang lancip yang difungsikan juga
sebagai alat penusuk. Pada gagang dibuat lebih ringan dengan bahan terbuat dari
timah. Agar tidak licin para jawara zaman dulu melapisinya dengan kain. Sekilas
bentuk Kerakel mirip dengan Kikir, sejenis perkakas yang difungsikan sebagai
pengerut besi.
Pada akhir abad 17 orang-orang
peranakan cina di luar kota memodifikasi kerakel menjadi sebuah bilah dengan
dua mata tajam, di sebut Ji-Sau (Ji, berarti dua-Sau, berarti bilah). Seiring
dengan perkembangan waktu, lidah masyarakat Betawi memetaforkan kata ji-sau
menjadi pi-sau, sekalipun pi-sau hanya bermata satu.
Golok
Golok merupakan jenis senjata tajam
masyarakat Melayu yang paling umum ditemukan, walaupun dengan penamaan yang
berlainan berdasarkan daerahnya. Sebagian besar masyarakat di pulau Jawa
sepakat menamakan senjata tajam jenis “bacok” ini dengan golok.
Pada masyarakat Betawi keberadaan
golok sangat dipengaruhi kebudayaan Jawa Barat yang melingkupinya. Perbedaan
diantara keduanya dapat dilihat dari model bentuk dan penamaannya, sedangkan
kualitas dari kedua daerah ini memiliki kesamaan mengingat kerucut dari sumber
pande besi masyarakat Betawi mengacu pada tempat-tempat Jawa Barat, seperti
Ciomas di Banten dan Cibatu di Sukabumi.
Golok Gobang
Golok
Gobang (https://kabarinews.com)
Golok Gobang, adalah golok yang
berbahan tembaga, dengan bentuk yang pendek. Panjang tidak lebih dari panjang
lengan (sekitar 30 cm) dan diameter 7cm. Bentuk Golok Gobang yang pada ujung
(rata) dan perut melengkung ke arah punggung golok, murni digunakan sebagai
senjata bacok. Di Jawa Barat model Golok Gobang ini dinamakan Golok Candung.
Bentuk gagang pegangan umumnya tidak menggunakan motif ukiran hewan, hanya
melengkung polos terbuat dari kayu rengas. Masyarakat Betawi tengah menyebutnya
dengan istilah “Gagang Jantuk”.
Bilah golok gobang polos tanpa pamor
atau wafak yang umum dipakai sebagai golok para jawara, dengan diameter 6cm
yang tampak lebih lebar dari golok lainnya.
Golok Ujung Turun
Golok jenis ini adalah golok tanding
dengan ujung yang lancip, panjang bilah sekitar 40cm, dengan diameter 5-6cm.
Umumnya golok Ujung Turun ini menggunakan wafak pada bilah dan motif ukiran
hewan pada gagangnya. Gagang dan warangka golok lebih sering menggunakan
tanduk, hal ini dimaksudkan sebagai sarana mengurangi beban golok ketika
bertarung. Di Jawa Barat golok jenis ini merupakan perpaduan antara jenis Salam
Nunggal dan Mamancungan.
Golok Betok & Badik Badik
Golok Betok adalah golok pendek yang
difungsikan sebagai senjata pusaka yang menyertai Golok Jawara, begitupun Badik
Badik yang berfungsi hanya sebagai pisau serut pengasah Golok Jawara. Kedua
senjata tajam ini digunakan paling terakhir manakala sudah tidak ada senjata
lagi di tangan.
Siku
Orang Betawi menyebutnya sebagai
Siku, karena bentuknya yang terdiri dari dua batang besi baja yang saling
menyiku atau menyilang. Ujung tajam menghadap ke lawan. Dalam setiap permainan
siku selalu digunakan berpasangan. Dalam istilah lain senjata tajam jenis ini
disebut Cabang atau Trisula.
Badik Cangkingan
Senjata tradisional masyarakat
Betawi yang bentuknya hampir menyerupai rencong (senjata khas Aceh) dan badik
(senjata khas Makasar). Bagian-bagiannya terdiri dari gagang yang terbuat dari
kayu yang keras atau gading, cincin terbuat dari perak, perunggu atau emas,
kemudian rangka dan sarung. Kedua bagian ini biasanya terbuat dari kayu yang
keras yang diukir indah. Bagian terakhir adalah bilah badik yang terbuat dari
campuran besi dan baja.
Sesuai dengan namanya “cangkingan”,
senjata ini biasanya dibawa begitu saja, diselipkan pada celana atau sarung.
Senjata yang digunakan sewaktu-waktu untuk menyerang ini lebih banyak digunakan
sebagai kebanggaan terutama jika cincinnya terbuat dari emas. Dewasa ini badik
cangkingan banyak digunakan sebagai pelengkap berbusana, terutama busana
pengantin laki-laki dalam suatu upacara perkawinan. Oleh karena itu umumnya
yang menyimpan senjata ini para perias pengantin.
0 komentar:
Posting Komentar