kredit perbankan dan soal hukum perbankan
BAB VIII
KREDIT PERBANKAN
A. Pengertian Kredit
Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan
memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian hari
atau memperoleh pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan di kemudian
hari dengan cicilan atau angsuran sesuai dengan perjanjian.
Kata ‘kredit’ berasal dari bahasa Latin creditur yang merupakan bentuk past participle dari kata credere (lihat pula credoadedidikirawan dan creditum, yang berarti to trust atau faith). Kata trust
berarti ‘kepercayaan’. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa
kreditur (yang memberi kredit, lazim bank) dalam hubungan perkreditan
dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa
debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui
bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang
bersangkutan.
Dalam KBBI, kata kredit antara lain diartikan : pertama, pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur, dan kedua, pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.
Secara yuridis Undang-Undangadedidikirawan
Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan dua istilah yang berbeda, namun
mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu,
yaitu pertama, kata ‘kredit’, istilah yang digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan kedua, kata ‘pembiayaan’ berdasarkan Prinsip Syariah, istilah yang digunakan pada bank syariah.
Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan konvensional yang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan dalam hukum perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntungan riil yang dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil (profit sharing).
Pengertian kredit disebutkan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang berbunyi :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berddasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.”
Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam
ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
berbunyi :
“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan ituadedidikirawan
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil.”
Pengertian pembiayaan tersebut lebih diperjelas lagi
dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 PBI No.9/19/PBI/2007, dan juga
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008.
Dari rumusan kedua istilah kredit dan pembiayaan
tersebut, perbedaannya terletak pada bentuk kontraprestasi yang akan
diberikan nasabah peminjam dana (debitur) kepada bank (kreditur) atas
pemberian kredit atau pembiayaan. Pada bank konvensional,
kontraprestasinya berupa bunga sebagai keuntungan, sedangkan pada bank
syariah, kontraprestasinya dapat berupa imbalan ujrah, bagi
hasil, atau bahkan tanpa imbalan sesuai dengan persetujuan atau
kesepakatan bersama bank syariah dengan debiturnya. Baik kredit maupunadedidikirawan
pembiayaan, sama-sama merupakan penyediaan dana atau tagihan / piutang
yang nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya persetujuan atau
kesepakatan bersama antara pihak bank (kreditur) dan pihak lain nasabah
peminjam dana (debitur), dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam
perjanjian kredit itu mencakup kewajiban nasabah peminjam dana atau
pihak yang dibiayai melunasi utangnya atau mengembalikan pinjamannya
beserta dengan bunga, imbalan, atau bagi hasil dalam tenggang waktu yang
disepakati bersama.
Dalam perbankan konvensional penyaluran dana kepada
nasabah selalu dalam bentuk uang yang kemudian terserah bagi nasabah
debitur untuk memakainya. Sedangkan dalam perbankan syariah biasanya
bank menyediakan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang nyata (asset) baik yang didasarkan pada konsep jual-beli, sewa-menyewa, ataupun bagi hasil.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam makna kredit, yaitu :
- Kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi yang diberikannya kepada nasabah peminjam dana yang akan dilunasinya sesuai dengan diperjanjikan pada waktu tertentu.
- Waktu, yaitu adanya jangka waktu tertentuadedidikirawan antara pemberian dan pelunasan kreditnya,
- Risiko, yaitu adanya risiko yang mungkin akan terjadi selama jangka waktu antara pemberian dan pelunasan kredit tersebut, sehingga untuk mengamankan pemberian kredit dan menutup kemungkinan terjadinya wanprestasi dari nasabah peminjam dana, diadakan pengikatan jaminan (agunan).
B. Fungsi Kredit
Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya
untuk merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong untuk
tujuan pencapaian kebutuhan, baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan
sehari-hari.
Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial
ekonomis, baik bagi debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa
pengaruh padaadedidikirawan tahapan yang lebih
baik. Dari manfaat nyata dan manfaat yang diharapkan maka sekarang ini
kredit dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi :
- Meningkatkan daya guna uang.
- Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
- Meningkatkan daya guna dan peredaran barang.
- Salah satu alat stabilitas ekonomi.
- Meningkatkan kegairahan berusaha.
- Meningkatkan emerataan pendapatan.
- Meningkatkan hubungan internasional.
C. Jenis-Jenis Kredit
Jenis-jenis kredit berdasarkan klasifikasinya terdiri atas :
1. Jenis kredit menurut kelembagaan;
2. Jenis kredit menurut jangka waktu;
3. Jenis kredit menurut penggunaannya;
4. Jenis kredit menurut kelengkapan dan keterikatannya dengan dokumen yang dibutuhkannya;
5. Jenis kredit menurut aktivitas perputaran usaha;
6. Jenis kredit menurut jaminannya;
7. Jenis kredit dari berbagai kriteria lainnya.
1. Jenis Kredit Menurut Kelembagaan
Jenis kredit menurut kelembagaan terdiri atas :
a. Kredit perbankan;
b. Kredit likuiditas;
c. Kredit langsung;
d. Kredit pinjaman antarbank.
Kredit perbankan adalah kredit yang diberikan oleh bank milik negara atau bank swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi.
Kredit likuiditas adalah kredit yang adedidikirawandiberikan
oleh bank sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang
selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan
perkreditannya.
Kredit langsung adalah kredit yang diberikan oleh BI kepada lembaga pemerintah atau semipemerintah (kredit program). Adapun kredit program
adalah kredit atau pembiayaan yang disalurkan bank pelaksana dengan
dukungan Kredit Likuiditas BI (KLBI) dalam rangka mendukung program
pemerintah.
Kredit pinjaman antarbank adalah kredit yang diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. Bilateral loan adedidikirawanadalah transaksi pinjaman dua pihak secara langsung antara bank yang meminjamkan dan bank peminjam, sedangkan kredit sindikasi adalah pinjaman yang diberikan sekelompok. Kredit konsorsium
adalah pembiayaan secara bersama-sama, maksudnya beberapa bank secara
bersama-sama berdasarkan perjanjian terentu memberikan kredit kepada
suatu perusahaan.
2. Jenis Kredit Menurut Jangka Waktu
Dari segi jangka waktunya jenis kredit meliputi :
a. Kredit jangka pendek (short term loan);
b. Kredit jangka menengah (medium term loan);
c. Kredit jangka panjang.
Kredit jangka pendek
adalah kredit yang berjangka waktu maksimum satu tahun. Bentuknya dapat
berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli, dan
kredit wesel, serta kredit modal kerja.
Kredit jangka menengah adalah kredit berjangka waktu antara satu tahun sampai tiga tahun. Bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
Kredit jangka panjang adalah kredit yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun. Bentuknya pada umumnya berupa kredit investasi yangadedidikirawan bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan), dan pendirian proyek baru.
Jangka waktu kredit kepada pemerintah daerah ditetapkan dalam PP 54 / 2005 tentang Pinjaman Daerah, yang terdiri atas :
a. Pinjaman jangka pendek, merupakan
pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun
anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahu
anggaran yang bersangkutan.
b. Pinjaman jangka menengah, merupakan
pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan
kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak
melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan.
c. Pinjaman jangka panjang, merupakanadedidikirawan
suatu pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran
dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran
berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang
bersangkutan.
3. Jenis Kredit Menurut Penggunaannya
Dari segi tujuan kredit, jenis kredit terdiri atas :
a. Kredit konsumtif;
b. Kredit produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi;
c. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif.
Kredit konsumtif adalah
kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau swasta yang diberikan
kepada perseorangan untuk membiayai keperluan konsumsinya untuk
kebutuhan sehari-hari.
Kredit investasi adalah
kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap,
yaitu peralatan produksi, gedung, dan mesin-mesin, juga untuk membiayai
rehabilitasi, ekspansi, relokasi proyek, atau pendirian proyek baru,
sedangkan jangka waktunya dapat berjangka waktu menengah atau berjangka
waktu panjang. Adapun kredit eksploitasi adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan adedidikirawankebutuhan
dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan
produk akhir, barang dalam proses produksi, serta piutang, sedangkan
jangka waktunya berlaku pendek.
4. Jenis Kredit Menurut Keterikatannya dengan Dokumen
Jenis kredit ini terdiri atas :
a. Kredit ekspor;
b. Kredit impor.
Kredit ekspor adalah semua kredit sebagai sumber pembiayaan bagi usaha ekspor. DPL, kredit ekspor
adalah kredit untuk membiayai kegiatan investasi dan modal kerja yang
diberikan dalam rupiah dan atau valuta asing kepada eksportir dan atau
pemasok.
- Jenis Kredit Menurut Aktivitas Perputaran Usaha
Jenis kredit ini terdiri atas :
a. Kredit kecil;
b. Kredit menengah;
c. Kredit besar.
Kredit kecil adalah kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil. Kredit Usaha Kecil (KUK)
adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja, yang diberikan
dalam rupiah atau valuta asing kepada nasabah usaha kecil dengan plafon
kredit keseluruhan maksimum Rp.350.000.000,00 adedidikirawanuntuk membiayai usaha yang produktif.
Kredit menengah adalah kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih dari daripada pengusaha kecil.
Kredit besar pada dasarnya ditinjau dari segi jumlah kredit yang diterima oleh debitur.
6. Jenis Kredit Menurut Jaminannya
Dari segi jaminanya, kredit dapat dibedakan antara lain :
a. Kredit tanpa jaminan atau kredit blanko (unsecured loan);
b. Kredit dengan jaminan (secured loan).
Kredit tanpa jaminan
adalah pemberian kredit tanpa jaminan materiil (agunan fisik),
pemberiannya sangat selektif dan ditujukan kepada nasabah besar yang
telah teruji bonafiditas, kejujuran, dan ketaatannya, baik dalam
traksaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang dijalaninya.
Kredit dengan jaminan
adalah kredit yang diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya
keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan pada adanya agunan
atau jaminan ang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan.
D. Perkreditan yang Dijalankan Bank Indonesia (BI)
Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968
Pasal 29, BI betugas untuk memajukan perkembangan yang sehat mengenai
urusan kredit, sekaligus bertindak mengadakan pengawasan terhadap urusan
kredit tersebut. Dengan demikian, BI mempunyai wewenang untuk
menetapkan batas-batas kuantitatif dan kualitatif di bidang perkreditan
bagi perbankan.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 32 ayat (2)-nya, adedidikirawanbahwa
BI dalam pemberian kredit likuditas bertindak dengan cara menerima
penggadaian ulang, menerima sebagai jaminan surat-surat berharga; dan
menerima aksep dengan syarat yang ditetapkan BI.
Ketentuan di atas sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Pasal 11, di mana dalam fungsinya sebagai bankers bank atau sebagai lender of de last resort,
BI dapat bertindak memberikan kredit dan pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh hari kepada bank
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang
bersangkutan.
Menurut jenisnya, kredit likuiditas darurat dibedakan dalam dua jenis, yaitu :
1. Kredit Likuiditas Umum, yaitu kredit yang
disediakan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas
sebagai akibat dari perubahan yang mendadak di luar kekuasaan bank dan
bersifat jangka pendek. Melihat karakteristik dari Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan
dari BI kepada bank, yang kiranya dapat dikelompokkan pada kredit
likuiditas umum.
2. Kredit Likuiditas Darurat Khusus, yaitu kredit
yang diberikan oleh BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan di
dalam faktor-faktor intern. Istilah kredit likuiditas darurat, saat ini
dikenal dengan Fasilitas Pembiayaan Darurat yang selanjutnya disebut FPD
adalah fasilitas pembiayaan dari BI kepada bank bermasalah yang
mengalami kesulitan likuiditas, tetapi masih memenuhi tingkat
solvabilitas yang ditetapkan BI, serta berdampak sistemik yang
pemberiannya didasarkan pada keputusan rapat Menkeu dan Gubernur BI dan
pendanaannya menjadi beban pemerintah.
Sejalan dengan perkembangan zaman serta perubahan
perundang-undangan di bidang perbankan, khususnya peraturan mengenai
bank sentral maka kebijakan pengetatan pemberian kredit likuiditas dan
pembiayaan dari BI kepada perbankan nasional merupakan bagian dari upaya
BI untuk menyehatkan perbankan nasional. Namun begitu, BI dalam
memberikan bantuan likuiditas tersebut hanya tertuju pada bank yang
memenuhi persyaratan.
E. Perjanjian Kredit
Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara
pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian
kredit (akad kredit) secara tertulis.
Perjanjian kredit menurut Hukum Perdata Indonesia
merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam
Buku Ketiga KUHPerdata Pasal 1754 – 1769. Namun, dalam praktik
perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kreditadedidikirawan
bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan
adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti
perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya. Dalam bentuk yang
campuran demikian maka selalu tampil adanya suatu jalinan di antara
perjanjian yang terkait tersebut. Akan tetapi, dalam praktik perbankan
pada dasarnya bentuk dan pelaksanaan perjanjian pinjam-meminjam yang ada
dalam KUHPerdata tidaklah sepenuhnya identik dengan bentuk dan
pelaksanaan suatu perjanjian kredit perbankan, di antar keduanya ada
perbedaan-perbedaan yang gradual, bahkan dapat pula merupakan perbedaan
yang pokok.
Sesuai dengan asas yang utama dari suau perikatan atau
perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak yang akan
mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan pada
ketentuan-ketentuan yang ada pada KUHPerdata, tetapi dapat pula
mendasarkan pada kesepakatan bersama.
Dalam perkembangannya kebebasan berkontrak ini mendapat
pengaruh dari peraturan ekonomi yang memuat ketentuan yang bersifat
memaksa, yang ditujukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak
pelaku ekonomi secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembagunan
nasional yang berdasarkan asas pemerataan.
Dalam praktik, bentuk dan materi perjanjian kredit
antara satu bank dan bank yang lainnya tidaklah sama. Hal tersebut
terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhannya
masing-masing. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut tidak
mempunyai bentuk yang berlaku umum, hanya saja dalam praktik ada banyak
hal yang biasanya dicantumkan dlaam perjanjian kredit, misalnya berupa
definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian ini
(terutama dalam perjanjian kredit dengn pihak asing / loan agreement), jumlah dan batas waktu peminjaman, pembayaran kembali pinjaman (repayment)
apakah si peminjam berhak mengembalikan dana pinjaman lebih cepat dari
ketentuan yang ada, penetapan bunga pinjaman dan dendanya jika debitur
lalai membayar bunga, dan dicantumkannya berbagai klausul.
Dalam praktiknya perjanjian kredit sering kali
mengakomodasi hal-hal seperti di atas sehingga semuanya dilakukan dan
akhirnya terbentuklah perjanjian baku untuk perjanjian kredit tersebut.
Rumusan perjanjian baku tersebut harus terhindar dari kandungan
unsur-unsur yang akan mengakibatkan kecurangan yang sangat berlebihan
dan terjadi suatu pemaksaan kaaena adanya ketidakseimbangan kekuatan
para pihak, juga harus dihindarkan pula syarat perjanjian yang hanya
menguntungkan sepihak, atau risiko yang hanya dibebankan kepada sepihak
pula, serta pembatasan hak dalam menggunakan upaya hukum.
Larangan demikian tercantum dalam Pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, yaitu bahwa pelaku usaha dilarang
memcantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti.
Apabila ternyata perjanjian tersebut memuat klausul-klausul atau
rumusannya kabur atau tidakadedidikirawan mudah dimengerti serta tidak jelas arti rumusannya, berlaku asas the promise to vague to be enforce dan a contract meaningless,
sehingga selanjutnya perjanjian demikian tidak mempunyai daya mengikat,
bahkan menurut Pasal 18 ayat (3)-nya, perjanjian tersebut dinyatakan
batal demi hukum.
Dalam ruang lingkup pembahasan perjanjian kredit ini, sering pula dalam praktiknya peminjam diminta memberikan representations, warranties, dan covenants. Adapun yang dimaksud dengan representations adalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh debitur guna pemrosesan pemberian kredit. Sedangkan yang dimaksud dengan warranties
adalah suatu janji, misalnya, janji bahwa debitur akan melindungi
kekayaan perusahaannya atau aset yang telah dijadikan jaminan untuk
mendapatkan kredit tersebut. Sementara yang dimaksud dengan covenants adalah janji untuk tidak melakukan sesuatu.
Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, di antaranya :
- Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok.
- Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.
- Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
Beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, di antaranya :
- Klausul mengenai syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause).
- Klausul mengenai maksimum kredit (amount clause).
- Klausul mengenai jangka waktu kredit.
- Klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause).
- Klausul mengenai barang agunan kredit.
- Klausul mengenai asuransi (insurance clause).
- Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause).
- Klausul mengenaiadedidikirawan hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir (tigger clause / opeisbaar clause).
- Klausul mengenai denda (penalty clause).
- Klausul mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit (expence clause).
- Klausul mengenai pendebetan rekening pinjaman debitur harus dengan seizin debitur (debet authorization clause).
- Klausul mengenai debitur menjanjikan dan menjamin bahwa semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan (representation an warranties clause / materiil adverse change clause).
- Klausul mengenai ketaatan pada ketentuan bank.
- Klausul mengenai pasal-pasal tambahan (miscellaneous / boiler plate provision clause).
- Klausul mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dan debitur, jika terjadi (dispute settlement / alternatif dispute resolution clause).
- Pasal penutup.
F. Jaminan dan Agunan Kredit
Dalam memberikan kreditnya bank wajib melakukan analisis
terhadap kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah
kredit diberikan, bank perlu melakukan pemantauan terhadap penggunaan
kredit serta kemampuan dan kepatuhan debitur dalam memenuhi
kewajibannya. Selain itu, bank juga dituntut untuk melakukan peninjauan,
penilaian, dan pengikatan terhadap agunan yang disodorkan oleh debitur
sehingga agunan yang diterima dapat memenuhi persyaratan ketentuan yang
berlaku. Hal tersebut harus ditaati karena telah dijadikan asas dari
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Dari ketentuan tersebut di atas yangadedidikirawan
paling penting, yaitu bahwa bank dalam menyalurkan dana untuk kredit
harus didasarkan pada adanya suatu jaminan. Adapun yang dimaksud dengan
jaminan dalam pemberian kredit, yaitu keyakinan bank atas kesanggupan
debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. (Pasal 2
ayat (1) SK Dir BI No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang
Jaminan Pemberian Kredit). Sedangkan guna memperoleh keyakinan tersebut
maka bank sebelum memberikan kreditnya harus melakukan penilaian yang
saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha
tersebut.
Menurut Subekti, jaminan yang ideal adalah jaminan yang :
- Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang membutuhnya.
- Tidak melemahkan posisi (kekuatan) si penerima kredit untuk meneruskan usahanya.
- Memberikan kepastian kepada kreditur dalam arti bahwa apabila perlu, mudah diuangkan untuk melunasi utang debitur.
Agunan merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam
hal pemberian fasilitas kredit. Menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Menurut Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, bentuk agunan dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang
dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya
didasarkan pada hukum adat,adedidikirawan yaitu
tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang
sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta
agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang
dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.
Meskipun adanya kemudahan, agunan tersebut harus tetap
ideal karena agunan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan
pemberian kredit, yaitu dengan memnberikan hak dan kekuasaan kepada bank
untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang yang diagunkan tersebut
apabila debitur wanprestasi.
Dalam pemberian fasilits kredit ini pada praktiknya
agunan bahkan lebih dominan atau diutamakan, sehingga agunan lebih
dipentingkan daripada hanya sekedar jaminan yang berupa keyakinan atas
kemampuan debitur untuk melunasi utangnya.
Dalam rangka menambah keyakinan atas watak dan kemampuan
debitur, bank selalu meminta jaminan pemberian kredit dari pihak lain,
seperti jaminan pribadi, garansi dari bank lain, atau jaminan dari induk
perusahaan. Jaminan perorangan atau jaminan pribadi (personal guaranty),
yaitu jaminan seseorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin
dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Jaminan ini dapat
dilakukan tanpa sepengetahuan debitur.
Avalist, pada praktik yang sebenarnya jaminan kebendaan (persoonlijke en zekerheid) yang lebih banyak dipraktikkan. Jaminan kebendaan adedidikirawanmerupakan
suatu tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh kreditur
dengan debiturnya ataupun antara kreditur dan seseorang pihak ketiga
guna menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur.
Dalam konteks perkreditan istilah jaminan sangat sering
bertukar dengan istilah agunan. Menurut Pasal 2 ayat (1) SK Dir BI No.
23/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit,
yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
G. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit
Bisnis bank merupakan bisnis konservatif. Kecenderungan
kepada sifat yang konservatif tersebut, maka bank harus hati-hati dalam
menjalankan usahanya. Bank dalam memberikan kredit harus melakukannya
berdasarkan analisis pemberian kredit yang memadai, agar kredit-kredit
yang diberikan oleh bank itu merupakan kredit-kredit yang tidak mudah
menjadi kredit-kredit macet.
Berdasarkan kepada prinsip kehati-hatian ini, maka bank
dalam memberikan kredit tersebut harus memperhatikan jaminan pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dalam arti keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Oleh karena itu, sebelum
memberikan kredit, bank harus mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalamadedidikirawan atas iktikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dalam hal ini bank harus melakukan penelitian secara saksama terhadap
berbagai aspek. Selain itu bank juga diwajibkan untuk memiliki dan
menerapkan pedoman perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
Keyakinan bank didapat setelah dilakukan analisis yang mendalam terhadap apa yang disebut dengan Prinsip 5C, 5P, dan 3R.
Penilaian terhadap Prinsip 5C ini meliputi atas :
3. Character (watak / kepribadian). Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan iktikad baik calon debitur
untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan
menyulitkan bank di kemudian hari.
4. Capacity (kemampuan). Bank harus meneliti
tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan
manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan dibiayainya
dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya dalam
jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
5. Capital (modal). Bank harus melakukan
analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu
dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan
calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debiutr
yang bersangkutan.
6. Collateral (agunan). Bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat meluansi kreditnya, adedidikirawanmaka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembangan kredit atau pembiayaan yang tersisa.
7. Condition of economy (prospek usaha
nasabah debitur). Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di
luar negeri, baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan
pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai
dapat pula diketahui.
Adapun penilaian terhadap Prinsip 5P meliputi atas :
- Personality (kepribadian). Dalam hal ini bank perlu mengumpulkan data-data mengenai calon debitur.
- Purpose (tujuan). Bank wajib menyoroti tujuan penggunaan dari kredit tersebut.
- Payment (pembayaran). Bank wajib memperhatikan kelancaran aliran dana (cash flow).
- Prospect (masa depan). Bank wajib memperhatikan masa depan kegiatan yang mendapatkan pembiayaan kredit tersebut.
- Protection (perlindungan). Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur.
Sementara penilaian terhadap Prinsip 3R meliputi atas :
- Return (balikan). Maksudnya hasil yang akan dicapai dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan tersebut.
- Repayment (pembayaran kembali).
- Risk Bearing Ability (kemampuan menanggung risiko).
Di samping rinsip-prinsip di aas, beberapa prinsip lain
dalam hal pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur yang harus
diperhatikan oleh suatu bank, yaitu :
- Prinsip macthing, maksudnya harus match antara pinjaman dengan aset perseroan.
- Prinsip kesamaan valuta, maksudnyaadedidikirawan penggunaan dana yang didapat dari sutu kredit sedapat-dapatnya harus digunakan untuk membiayai atau investasi dalam mata uang yang sama, sehingga risiko nilai valuta dapat dihindari.
- Prinsip perbandingan antara pinjaman dan modal, maksudnya harus ada hubungan yang prudent antara jumlah pinjaman dengan besarnya modal.
- Prinsip perbandingan antara pinjaman dan aset.
Di samping dengan menggunakan prinsip penilaian dalam
pemberian kredit, prinsip penilaian kredit dapat pula dengan studi
kelayakan, yang meliputi :
- Aspek Hukum. Merupakan aspek untuk menilai keabsahan dan keaslian dokumen-dokumen atau surat-surat yang dimiliki oleh calon debitur.
- Aspek Pasar dan Pemasaran. Merupakan aspek untuk menilai prospek usaha nasabah sekarang dan di masa yang akan datang.
- Aspek Keuangan. Merupakan aspek adedidikirawanuntuk menilai kemampuan calon nasabahnya dalam membiayai dan mengelola usahanya.
- Aspek Operasi / Teknis. Merupakan aspek untuk menilai tata letak ruangan, lokasi usaha dan kapasitas produksi suatu usaha yang tercermin dari sarana dan prasarana yang dimilikinya.
- Aspek Manajemen. Merupakan aspek untuk menilai sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan, baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas.
- Aspek Ekonomi / Sosial. Merupakan aspek untuk menilai dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan dengan adanya usaha terutama terhadap masyarakat.
- Aspek AMDAL. Merupakan aspek yang menilai dampak lingkungan yang akan timbul dengan adanya suatu usaha, kemudian cara pencegahan terhadap dampak tersebut.
H. Asuransi Kredit
Sesuai dengan tujuan perbankan Indonesia yang tercantum
dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, bahwa Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan
rakyat banyak.
Pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan kredit, yaitu berupa ketentuan yang secara otomatis terutama bagi kredit kadedidikirawanecil yang disalurkan akan mendapat perlindungan asuransi. Asuransi ini merupakan asuransi wajib (compulsory insurance)
yang ditangani oleh PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) yang
didirikan pada tanggal 6 April 1971. Pendirian perusahaan tersebut
dilandasi pertimbangan perlunya usaha untuk mengarahkan dan mengamankan
kebijakan dalam bidang perkreditan.
Dalam menutup asuransi terhadap suatu pinjaman, PT
Askrindo menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh bank,
di antaranya membayar premi asuransi yang jumlahnya ditentukan
berdasarkan perjanjian. Sewaktu adedidikirawanmasih
ada program kredit investasi kecil, dan kredit kerja modal permanen
(KIK/KMKP), maka PT Askrindo secara langsung mengamankannya dengan
asuransi dan preminya yang besarnya 3% dibayar oleh bank pelaksana serta
BI.
Ada dua tata cara pertanggungan yaitu secara kasus demi
kasus dan penutupan pertanggungan secara otomatis, yang
langkah-langkahnya sebagai berikut :
1) Penutupan Pertanggungan Secara Kasus demi Kasus
a) Pengusaha mengajukan permintaan kredit kepada bank.
b) Bank mempelajari dan mempertimbangkan permintaan kredit tersebut.
c) Dalam hal (tidak selalu) bank memerlukan jasa
penutupan pertanggungan atas kredit-kredit yang akan diberikan kepada
pengusaha yang bersangkutan, bank mengajukan permintaan penutupan
pertanggungan kepada PT Askrindo.
d) PT Askrindo mempelajari dan mempertimbangkan permintaan bank.
e) Bila PT Askrindo dapat menutup pertanggungan, ia mengajukan penawaran penutupan pertanggungan kepada bank.
f) Jika bank menyetujui penawaran penutupan.
g) Pertanggungan dari PT Askrindo. Kemudian, PT
Askrindo menerbitkan nota penutupan pertanggungan untuk bank. Dengan
demikian, adedidikirawanterjadi penutupan poertanggungan dan bank dapat merealiasi fasilitas kredit kepada pengusaha yang bersangkutan.
2) Penutupan Pertanggungan secara Otomatis
a) Pengusaha mengajukan permintaan kredit kepada bank.
b) Bank mempelajari dan mempertimbangkan permintaan kredit tersebut.
c) Untuk memberikan fasilitas kepada pengusaha
tersebut, jika bank memerlukan jasa pertanggungan PT Askrindo, bank
dapat langsung memberikan fasilitas kredit kepada pengusaha tanpa
terlebih dahulu mengajukan permintaan penutupan pertanggungan kepada PT
Askrindo.
d) Pada waktu-waktu tertentu, bank menyampaikan
Deklarasi Jumlah Pertanggungan kepada PT Askrindo yang memuat fasilitas
yang telah diberikan selama jangka waktu deklarasi.
e) Deklarasi jumlah pertanggungan diteliti oleh PT
Askrindo. Jika fasilitas di dalam deklarasi sesuai dengan ketentuan
klausula penutupan secara otomatis, PT Askrindo kemudian segera
menerbitkan nota penutupan pertanggungan untuk Deklarasi Jumlah
Pertanggungan yang bersangkutan.
I. Penanganan Kredit Bermasalah
Bank tidak mungkin terhindar dari kredit bermasalah.
Kredit yang bermasalah merupakan penyebab kesulitan terhadap bank itu
sendiri, yaitu berupa kesulitan terutama yang menyangkut tingkat
kesehatan bank. Karenanya, bank wajib menghindarkan diri dari kredit
bermasalah.
Dalam kebijakan penanganan kredit bermasalah, hal-hal
yang harus diperhatikan di antaranya : administrasi kredit, kredit yang
tunggakan bunganya dikapitalisasi (kredit plafondering), prosedur penyelesaian kredit bermasalah, dan proseduradedidikirawan
menghapusbukukan kredit macet, serta tata cara pelaporan kredit macet
dan tata cara penyelesaian barang agunan kredit yang telah dikuasai bank
yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Dari kebijakan di atas,
yang paling penting pula, yaitu pelaksana dan institusinya itu sendiri
- Penggolongan Kredit Bermasalah
Pengaturan penggolongan kolektibilitas kredit terakhir
terdapat dalam Peraturan BI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum, yang telah diubah oleh PBI No.8/2/PBI/2006.
Berdasarkan Pasal 10 PBI No.7/2/PBI/2005, maka kualitas kredit ditetapka menurut faktor penilaian yang meliputi prospek adedidikirawanusaha, kinerja (performance)
debitur, dan kemampuan membayar. Dengan memperhatikan ketiga faktor
penilaian tersebut, berdasarkan Pasal 12 ayat (3) PBI No.7/2/PBI/2005,
maka kualitas kredit ditetapkan menjadi :
a. lancar;
b. dalam perhatian khusus;
c. kurang lancar;
d. diragukan; aau
e. macet.
- Penyelesaian Kredit Bermasalah Secara Administrasi Perkreditan
Secara operasional penanganan penyelesaian kredit bermasalah dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu :
a. Penjadwalan kembali (reschedulling),
yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan atau
jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya
angsuran maupun tidak.
b. Persyaratan kembali (reconditioning),
yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak
terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan atau
persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut adedidikirawanperubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank.
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu
perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank, dan/atau
konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan daam
perusahaan.
Penyelesaian di atas merupakan langkah yang merupakan
alternatif sebelum dilakukan penyelesaian melalui lembaga yang lebih
bersifat yudisial.
Pengaturan bentuk penanganan dan penyelesaian adedidikirawanmasalah
perkreditan tersebut ditetapkan dengan melihat jenis pembiayaan.
Beberapa aturan yang memuat materi ketentuan penanganan dan penyelesaian
masalah kredit, di antaranya :
a. PBI No. 6/18/PBI/2004 tentang Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah.
b. PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, diubah oleh PBI No.8/2/PBI/2006.
Pengertian restrukturisasi diatur dalam Pasal 1 angka 25 PBI No. 7/2/PBI/2005, yang berbunyi :
“Restrukturisasi kredit adalah upaya perbaikan yang
dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya yang dilakukan, antara
lain, melalui :
a. penurunan suku bunga kredit;
b. perpanjangan jangka waktu kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga kredit;
d. pengurangan tunggakan pokok kredit;
e. penambahan fasilitas kredit; dan atau
f. konvensi kredit menjadi penyertaan modal sementara.”
Konsep restrukturisasi dapat juga diterapkan untuk
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal
20 ayat (3) KepDir BI No. 31/150/KEP/DIR tentang Restrukturisasi Kredit,
yaitu bentuknya berupa penurunan imbalan atau bagi hasil, pengurangan
tunggakan imbalan atau bagi hasil, pengurangan pokok pembiayaan,
perpanjangan jangka waktu pembiayaan, penambahan fasilitas pembiayaan, adedidikirawanpengambilalihan
aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau dengan konversi
pembiayaan menjadi penyertaan pada perusahaan debitur.
Menurut Pasal 57 PBI No.7/2/PBI/2005, proses selanjutnya
dari langkah-langkah yang telah ditempuh suatu bank dalam rangka
restrukturisasi kredit, yaitu penetapan kualitas kredit yang
direstrukturisasi. Kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi
dapat ditetapkan sebagai berikut :
b. Setinggi-tingginya kurang lancar untuk kredit yang sebelum dilakukan restruktirisasi tergolong diragukan atau macet.
c. Kualitas tidak berubah untuk kredit yang
sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong lancar, dalam perhatian
khusus, atau kurang lancar.
Penggolongan kualitas kredit dapat berubah :
a. Menjadi lancar
apabila tidak terdapat tunggakan selama tiga kali periode pembayaran
angsuran pokok dan atau bunga secara berturut-turut sesuai dengan
perjanjian restrukturisasi kredit; atau
b. Kembali sesuai
dengan kualitas kredit sebelum dilakukan restrukturisasi kredit atau
kualitas yang sebenarnya apabila lebih buruk sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan berdasarkan faktor penilaian prospek usaha, kinerja (performance) debitur, adedidikirawandan kemampuan membayar.
Restrukturtisasi kredit dapat pula dilakukan melalui penyertaan modal sementara yang ketentuan dan tahapannya sebagai berikut :
a. Penyertaan modal sementara hanya dapat
dilalkukan untuk kredit yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan,
atau macet.
b. Penyertaan modal sementara wajib ditarik kembali apabila :
1) telah melampaui jangka waktu paling lama lima tahun; atau
2) perusahaan debitur tempat penyertaan telah memperoleh laba kumulatif.
c. Penyertaan modal sementara wajib dihapusbukukan dari neraca bank apabila telah melampaui jangka waktu lima tahun.
Dalam penyelesaian kredit bermasalah dalam lingkup
administrasi tidak berlebihan pula apabila difungsikan lembaga
alternatif penyelesaian sengketa karena melalui lembaga tersebut
dimungkinkan perbedaan pendapat dapat direduksi sedemikian rupa sehingga
mendapatkan jalan keluar yang saling menguntungkan (win win solution).adedidikirawan
Langkah-langkah tersebut dapat dicapai melalui cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli, yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian
Sengketa dan Arbitrase. Langkah ini dilakukan apabila para pihak
mendasarkan ada iktikad baik.
- Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Hukum
Beberapa upaya penanganan penyelesaian kredit bermasalah yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum, di antaranya :
a. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara (PUPN dan BUPN).
b. Melalui badan peradilan.
c. Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Selain melalui lembaga sebagaimana tersebut di atas,
penanganan kredit macet yang dimiliki oleh bank dalam kondisi penyehatan
ditangani langsung oleh lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(selanjutnya disingkat BPPN), di antaranya melalui penyertaan modal
sementara.
BPPN dalam menangani kredit bank dalam penyehatan sesuai dengan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, dilakukan adedidikirawanmelalui
antara lain : tindakan pemantauan kredit, peninjauan ulang,
poengubahan, pembatalan, pengakhiran, dan penyempurnaan dokumen kredit
dan jaminan, restrukturisasi kredit, penagihan utang, penyertaan modal
pada debitur, memberikan jaminan atau penanggungan, pemberian atau
penambahan fasilitas pembiayaan, dan atau penghapusbukuan piutang.
a. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara (PUPN dan BUPN)
Sesuai dengan Pasal 12 PERPU No. 49 Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara, penyelesaian kredit bank milik negara
dapat diusahakan melalui PUPN. Panitia ini merupakan suatu panitia
interdepartemental, yang anggotanya tediri atas wakil dari Depkeu, Dep
Hankam, Kejagung, dan dari BI. Sedangkan struktur organisasinya terdiri
atas PUPN pusat, wilayah, dan cabang,
Dalam menjalankan tugasnya, PUPN berpedoman pada
ketentuan Pasal 2 Keppres No. 11 Tahun 1976 tentang PUPN dan BUPN.
Adapun tugas PUPN sebagai berikut :
1) Membahas pengurusan piutang negara, yaitu utang
kepada negara yang harus dibayar kepada negara, yakni instansi-instansi
pemerintah/badan-badanadedidikirawan negara yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik di pusat maupun di daerah.
2) Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang,
kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi
pemerintah/badan-badan usaha negara, baik di pusat maupun di daerah.
Dalam masalah piutang negara ini selain penanganan
secara interdepartemental oleh PUPN, juga dilakukan oleh suatu badan
yang khusus di bawah Departemen Keuangan, yaitu BUPN yang diganti nama
dan fungsinya dengan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)
sebagaimana diatur dalam Keppres No. 21 Tahun 1991 tentang BUPLN. Adapun
tugasnya adalah sebagai pelaksana teknis, operasional dari
keputusan-keputusan yang diambil oleh PUPN sebagaimana ditentukan oleh
Pasal 2 ayat (5) Kepmenkeu No. 294/KMK.09/1993 tentang PUPN. BUPLN
sebagai badan dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai kedudukan
setingkat dengan dirjen.
Menurut Pasal 2 Keppres No. 21 Tahun 1991, BUPLN adalah
suatu badan yang mempunyai tugas menyelenggarakan pengurusan piutang
negara dan lelang, baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan
tugas PUPN mapunadedidikirawan pelaksanaan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menkeu dan peraturan perundang-udnangan yang berlaku.
Pelimpahan pengurusan penyelesaian kredit macet kepada
BUPLN selambat-lambat tiga bulan setelah tanggal jatuh tempo yang
tercantu, dalam dokumen-dokumen perpanjangan jangka waktu pelunasan
kredit macet. Pengurusan penyelesaian kredit ini dapat juga karena
inisiatif BUPLN sendiri, atas dasar pemikiran bahwa sifat pengurusan dan
penagihan piutang macet adalah untuk maksud mengamankan keuangan atau
kekayaan negara, maka BUPLN wajar untuk mengurus dan menagih piutangadedidikirawan
tersebut. Sebagai akibat dari pola pemikiran tersebut, maka dalam
menghadapi debitur, BUPLN bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan
wewenang yang bersifat hukum publik. Oleh karena itu, kedudukan debitur
dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta tidak bersifat hukum
perdata.
Dalam hal si penanggung utang mempunyai kekayaan yang
tersimpan pada bank, maka BUPLN berwenang untuk melakukan pemblokiran
atas kekayaan tersebut. Dalam pelaksanaan pemblokiran BUPLN harus
membuat berita acara pemblokiran yang disaksikan oleh pimpinan bank atau
pejabat yang berwenang dan tindakan dari berita acara dimaksud
disampaikan pula kepada pimpinan bank yang bersangkutan. Pemblokiran
dapat dicabut dan untuk itu perlu dituangkan pula dalam berita acara.
BUPLN dalam menjalankan kewenangan untuk pemblokiran ini tetap harus
memerhatikan kerahasiaan bank. Namun, untuk pelaksanaan kewenangannya
diberikan pengecualian, yaitu bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang
sudah diserahkan keapda BUPLN, kerahasiaan bank tersebut dikecualikan.
b. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Badan Peradilan
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap
kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan.
Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah,
yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui
gugatan kepailitan.
Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang
kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan, tetapi debitur
tetap tidak melunasi utangnya, pelaksanaan keputusan tersebut
dilaksanakan atas dasar perintah dan denaganadedidikirawan pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan-ketentuan Pasal 195 HIR,
dan selanjutnya. Atas dasar perintah ketua pengadilan tersebut
dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang
dengan perantara kantor lelang. Dari hasil pelelangan itu kreditur
memperoleh pelunasan piutangnya.
c. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase (perwasitan) dahulu didasarkan pada ketentuan Pasal 615 R.v (Reglement op de Rechtsvordering).
Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase sekarang telah mempunyai
landasan yang kuat, yaitu berupa peraturan perundang-undangan mengenai
arbitrase yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang
dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat adedidikirawansecara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian melalui
arbitrase ini dapat dilakukan apabila dalam perjanjian kredit sebelum
timbul sengketa (sebelum timbulnya kredit bermasalah) telah dimuat
klausul arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbulnya kredit bermasalah tersebut.
Hal-hal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa arbitrase, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, di antaranya :
1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrse dapat
dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrease nasional atau
internasional berdasarkan keseakatan para pihak dan dilakukan menurut
peraturan dan acara dari lembaga tersebut, kecuali ditetapkan lain oleh
para pihak (Pasal 34).
2) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus
diajukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan apabila
disetujui oleh para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis
arbitrase (Pasal 36).
3) Arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu
mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa (Pasal 45
ayat (1)).
4) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan
dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase
terbentuk, tetapi dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui
para pihak (Pasal 48).
5) Putusan arbitrase harus memuat kepala putusan
yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, nama
singkat sengketa, uraian singkat sengketa, pendirian para pihak, nama
lengkap dan alamat arbiter, pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau
majelis arbitraseadedidikirawan mengenai
keseluruhan sengketa, pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat
perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase, amar putusan,tempat dan
tanggal putusan, dan tanda tangan arbiter atau mejelis arbitrase (Pasal
54 ayat (1)).
6) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan (Pasal 54 ayat (1)).
7) Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai,
pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan
putusan arbitrase (Pasal 55) dan diucapkan dalam waktu paling lama tiga
puluh hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57).
8) Dalam waktu paling lama empat belas hari setelah
putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada
arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap
kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu
tuntutan putusan (Pasal 58).
d. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
Penanganan piutang negara oleh BPPN terbatas pada piutang yang terjadi karena proses penyehatan perbankan.
BPPN dalam menanganai piutang negara dapat melakukan
penagihan piutang yang sudah pasti yang berasal dari bank dalam
penyehatan. Yang dimaksud piutang bank dalam penyehatan termasuk juga
piutang yang sudah dialihkan kepada BPPN, piutang yang timbul sehubungan
dengan penanggungan utang, atau penyerahan kekayaan oleh pihak lain
kepada bank dalam penyehatan dan atau BPPN. Pelaksanaan penagihan
melalui cara-cara sebgai berikut :
1) Penerbitan surat paksa;
2) Penyitaan;
3) Pelelangan.
Kewenangan yang dimiliki oleh BPPN seperti dalam penanganan kredit bermasalah ini merupakan sesuatu yang bersifat lex specialis
terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, maka penerapannya perlu
dilandasi dengan kehati-hatian serta menjunjung asas keterbukaan.
LATIHAN SOAL-SOAL HUKUM PERBANKAN
1. Dalam usaha menghimpun dana, suatu bank harus
mengenal sumber-sumber dana yang terdapat di dalam berbagai lapisan
masyarakat dengan bentuk yang berbeda-beda. Salah satu sumber dana bagi
sebuah bank berasal dari masyarakat luas. Jelaskan sumber dana bank yang
berasal dari masyarakat luas tersebut !
2. Dalam rangka akuisisi bank ada beberapa hal yang perlu adedidikirawanmendapat
perhatian. Hal-hal apa saja yang perlu mendapat perhatian dalam rangka
akuisisi tersebut ! Syarat-syarat apa pula yang harus dipenuhi untuk
memperoleh izin akuisisi tersebut !
3. Kredit perbankan dengan melihat kelembagaannya
maka dikenal beberapa jenis kredit. Jelaskan jenis kredit berdasarkan
kriteria kelembagaan tersebut ! Apa pula yang dimaksud dengan kredit
sindikasi dan kredit konsorsium ?
4. Penilaian dalam pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur selain digunakan prinsip 5C, 5P dan 3R
ada prinsip-prinsip lain yang harus diperhatikan oleh suatu bank.
Sebutkan prinsip-prinsip lain tersebut ? Di samping menggunakan prinsip
penilaian dalam pemberian kredit dapat pula digunakan dengan studi
kelayakan. Jelaskan, meliputi apa saja studi kelayakan tersebut ?
5. Ada beberapa cara penyelesaian kredit
bermasalah, salah satunya dengan jalur hukum melalui Badan Usaha
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Apa tugas dari BUPLN dan apa pula
fungsinya !
6. Secara keilmuan, istilah dan pengertian tindak
pidana perbankan masih diperdebatkan para ahli, ada para ahli yang
memilih istilah tindak pidana perbankan dan sebagian ahli lainnya
memakai istilah tindak pidana di bidang perbankan. Jelaskan perbedaan adedidikirawanpenekanan pada kedua istilah tersebut disertai contohnya masing-masing !
7. Apa yang menyebabkan meningkatnya frekuensi
kejadian dan berulangnya suatu tindak pidana perbankan ? Apa saja bentuk
kejahatan dan pelanggaran yang sering terjadi di bidang perbankan !
8. Apa yang menjadi latar belakang diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ? Sebutkan
pula dasar pijakan diberlakukannya undang-undang tersebut !
9. Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip
kehati-hatian. Apa yang dimaksud asas-asas tersebut ?
10. Jenis Bank Syariah terdiri dari Bank Umum Syariah
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Kegiatan usaha apa saja yang dapat
dilakukan oleh kedua jenis Bank Syariah tersebut !
11. Dewan Syariah Nasional (DSN) memiliki kewenangan
dalam pengangkatan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Apa fungsi dari DPS dan
apapula fungsi dari DSN ?
12. Apa yang dimaksud dengan istilah-istilah di bawah ini :
a. Unsecured loan;
b. Representations;
c. Waranties;
d. Covenants;
e. Amount Clause;
f. White collar crime;
g. Akad wadi’ah;
h. Akad ijarah;
i. Akad hawalah;
j. Akad wakalah.
LATIHAN SOAL-SOAL HUKUM PERBANKAN!
1. Dalam usaha menghimpun dana, suatu bank harus
mengenal sumber-sumber dana yang terdapat di dalam berbagai lapisan
masyarakat dengan bentuk yang berbeda-beda. Salah satu sumber dana bagi
sebuah bank berasal dari masyarakat luas. Jelaskan sumber dana bank yang
berasal dari masyarakat luas tersebut !
2. Dalam rangka akuisisi bank ada beberapa hal yang
perlu mendapat perhatian. Hal-hal apa saja yang perlu mendapat
perhatian dalam rangka akuisisi tersebut ! Syarat-syarat apa pula yang
harus dipenuhi untuk memperoleh izin akuisisi tersebut !
3. Kredit perbankan dengan melihat kelembagaannya
maka dikenal beberapa jenis kredit. Jelaskan jenis kredit berdasarkan
kriteria kelembagaan tersebut ! Apa pula yang dimaksud dengan kredit
sindikasi dan kredit konsorsium ?
4. Penilaian dalam pemberian kredit yang berhubungan dengan debitur selain digunakan prinsip 5C, 5P dan 3R
ada prinsip-prinsip lain yang harus diperhatikan oleh suatu bank.
Sebutkan prinsip-prinsip lain tersebut ? Di samping menggunakan prinsip
penilaian dalam pemberian kredit dapat pula digunakan dengan studi
kelayakan. Jelaskan, meliputi apa saja studi kelayakan tersebut ?
5. Ada beberapa cara penyelesaian kredit
bermasalah, salah satunya dengan jalur hukum melalui Badan Usaha
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Apa tugas dari BUPLN dan apa pula
fungsinya !
6. Secara keilmuan, istilah dan pengertian tindak
pidana perbankan masih diperdebatkan para ahli, ada para ahli yang
memilih istilah tindak pidana perbankan dan sebagian ahli lainnya
memakai istilah tindak pidana di bidang perbankan. Jelaskan perbedaan
penekanan pada kedua istilah tersebut disertai contohnya masing-masing !
7. Apa yang menyebabkan meningkatnya frekuensi
kejadian dan berulangnya suatu tindak pidana perbankan ? Apa saja bentuk
kejahatan dan pelanggaran yang sering terjadi di bidang perbankan !
8. Apa yang menjadi latar belakang diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ? Sebutkan
pula dasar pijakan diberlakukannya undang-undang tersebut !
9. Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip
kehati-hatian. Apa yang dimaksud asas-asas tersebut ?
10. Jenis Bank Syariah terdiri dari Bank Umum Syariah
dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Kegiatan usaha apa saja yang dapat
dilakukan oleh kedua jenis Bank Syariah tersebut !
11. Dewan Syariah Nasional (DSN) memiliki kewenangan
dalam pengangkatan Dewan Pengawas Syariah (DPS). Apa fungsi dari DPS dan
apapula fungsi dari DSN ?
12. Apa yang dimaksud dengan istilah-istilah di bawah ini :
a. Unsecured loan;
b. Representations;
c. Waranties;
d. Covenants;
e. Amount Clause;
f. White collar crime;
g. Akad wadi’ah;
h. Akad ijarah;
i. Akad hawalah;
j. Akad wakalah.
0 komentar:
Posting Komentar